INFO,MEDIABUSER.COM-
Pertemuan itu terjadi kira-kira tahun 1895 Masehi, lima puluh tahun sebelum kemerdekaan,” kata Kiai Dimyati.
Ia menjelaskan, pertemuan itu dihadiri oleh ulama-ulama besar Indonesia. Di antaranya adalah Syaikhona Kholil Bangkalan dan Syeikh Nawawi tanara Al-Bantani. Pertemuan tersebut berlangsung di rumah Kiai Anwar, yang berada di Alas Roban Batang.
Pertemuan itu dilakukan sewaktu Syaikh Nawawi Tanara Al-Bantani pulang kampung ke tanah Jawa (Banten). Ikut pertemuan juga di antaranya Kiai Sholeh Darat Semarang, dan Kiai Abdul Karim Kaliwungu. Pertemuan dirasa mendesak mengingat kondisi masyarakat pribumi sudah sedemikian menderita, lelah, dan terpecah. Dua ratus tahun lebih sudah mereka hidup di bawah tekanan penjajah.
Pertemuan disepakati bertempat di Alas Roban. Selain lokasinya pertengahan antara Bangkalan, Jawa Timur, tempat tinggal Syaikhona Kholil dan Banten (Banten) sebagai kawasan tempat tinggal Syaikh Nawawi Tanara Al-Bantani, juga dimaksudkan agar tidak terendus oleh Kolonial Belanda.
Kala itu, Kolonial Belanda sangat keras jika ada pertemuan-pertemuan orang pribumi. Kolonial Belanda khawatir adanya pemberontakan oleh orang-orang pribumi. Namun, walaupun pertemuan para ulama itu sudah dirahasiakan sedemikian rapi tetap saja Kolonial Belanda berhasil mengendusnya.
Akhirnya, tentara Kolonial Belanda dengan bersenjatakan lengkap menuju Alas Roban, Batang untuk membubarkan pertemuan itu dan menangkap para ulama.
Dengan izin Allah, ketika tentara Kolonial Belanda hingga di kawasan tujuan, kediaman Kiai Anwar, mereka tidak melihat satu pun ulama yang ada di kawasan itu. Padahal di situ ada beberapa ulama yang sedang mengadakan pertemuan.
Setelah pertemuan berakhir, Syaikh Kholil Bangkalan kaget ternyata waktu shalat Dhuhur hampir habis, padahal dia belum melakukan shalat Dhuhur. Di tengah kebingungan, Syaikh Nawawi Tanara Al-Bantani mengatakan, “Mari ikut saya Syaikh Kholil, tentu di Mekkah belum masuk waktu Dhuhur. Pegang tangan saya dan pejamkan kedua mata.”
Syaikhona Kholil Bangkalan hanya mengiyakan usulan guru dan sahabatnya itu. Dan seketika dalam sekejap, mereka berdua sudah berada di Makkah.
Syaikh Nawawi Tanara Al-Bantani, Syaikhona Kholil, dan Kiai Anwar Batang pernah belajar bersama di Makkah. Kiai-kiai tersebut waktu itu membaca “mussabiat”, yang dipimpin oleh Kiai Kholil Bangkalan dan ditutup dengan doa oleh syaikh Nawawi Tanara Al-Bantani.
Musabbiat adalah beberapa surat-surat Al-Quran yang masing-masing dibaca tujuh kali. Mbah Dim juga menjelaskan sanad musabbi’at, mulai dari gurunya, Kiai Rukyat Kaliwungu. Kiai Rukyat dari gurunya, Kiai Idris Jamsaren Solo. Kiai Idris dari gurunya, Kiai Soleh Darat Semarang.
Kini oleh Mbah Dim surat-surat Al-Quran yang pernah diamalkan oleh para kiai dan gurunya menjadi amalan rutin santri-santri asuhannya di Pesantren Al-Fadlu Kaliwungu Kendal.(SYARIFUDDIN/RED)